Latar belakang
Pada abad ke-19, kekuatan-kekuatan besar Eropa berupaya keras mempertahankan
keseimbangan kekuatan di seluruh Eropa, sehingga pada tahun 1900 memunculkan jaringan aliansi politik dan militer yang kompleks di benua ini.
[6] Berawal tahun 1815 dengan
Aliansi Suci antara
Prusia, Rusia, dan Austria. Kemudian, pada Oktober 1873, Kanselir Jerman
Otto von Bismarck menegosiasikan
Liga Tiga Kaisar (Jerman:
Dreikaiserbund)
antara monarki Austria-Hongaria, Rusia, dan Jerman. Perjanjian ini
gagal karena Austria-Hongaria dan Rusia tidak sepakat mengenai kebijakan
Balkan, sehingga meninggalkan Jerman dan Austria-Hongaria dalam satu
aliansi yang dibentuk tahun 1879 bernama
Aliansi Dua. Hal ini dipandang sebagai metode melawan pengaruh Rusia di
Balkan saat
Kesultanan Utsmaniyah terus melemah.
[6] Pada tahun 1882, aliansi ini meluas hingga Italia dan menjadi
Aliansi Tiga.
[19]
Setelha 1870, konflik Eropa terhindar melalui jaringan perjanjian
yang direncanakan secara hati-hati antara Kekaisaran Jerman dan seluruh
Eropa yang dirancang oleh Bismarck. Ia berupaya menahan Rusia agar tetap
di pihak Jerman untuk menghindari perang dua front dengan Perancis dan
Rusia. Ketika
Wilhelm II naik tahta sebagai
Kaisar Jerman (
Kaiser), Bismarck terpaksa pensiun dan sistem aliansinya perlahan dihapus. Misalnya, Kaiser menolak memperbarui
Perjanjian Reasuransi dengan Rusia pada tahun 1890. Dua tahun kemudian,
Aliansi Perancis-Rusia
ditandatangani untuk melawan kekuatan Aliansi Tiga. Pada tahun 1904,
Britania Raya menandatangani serangkaian perjanjian dengan Perancis,
Entente Cordiale, dan pada 1907, Britania Raya dan Rusia menandatangani
Konvensi Inggris-Rusia.
Meski perjanjian ini secara formal tidak menyekutukan Britania Raya
dengan Perancis atau Rusia, mereka memungkinkan Britania masuk konflik
manapun yang kelak melibatkan Perancis dan Rusia, dan sistem penguncian
perjanjian bilateral ini kemudian dikenal sebagai
Entente Tiga.
[6]
Kekuatan industri dan ekonomi Jerman tumbuh pesat setelah
penyatuan dan pendirian Kekaisaran
pada tahun 1871. Sejak pertengahan 1890-an sampai seterusnya,
pemerintahan Wilhelm II memakai basis industri ini untuk memanfaatkan
sumber daya ekonomi dalam jumlah besar untuk membangun
Kaiserliche Marine (Angkatan Laut Kekaisaran Jerman), yang dibentuk oleh Laksamana
Alfred von Tirpitz, untuk menyaingi
Angkatan Laut Kerajaan Britania Raya untuk supremasi laut dunia.
[20] Hasilnya, setiap negara berusaha mengalahkan negara lain dalam hal
kapal modal. Dengan peluncuran
HMS Dreadnought tahun 1906, Imperium Britania memperluas keunggulannya terhadap pesaingnya, Jerman.
[20]
Perlombaan senjata antara Britania dan Jerman akhirnya meluas ke
seluruh Eropa, dengan semua kekuatan besar memanfaatkan basis industri
mereka untuk memproduksi perlengkapan dan senjata yang diperlukan untuk
konflik pan-Eropa.
[21] Antara 1908 dan 1913, belanja militer kekuatan-kekuatan Eropa meningkat sebesar 50 persen.
[22]
Austria-Hongaria mengawali
krisis Bosnia 1908–1909 dengan menganeksasi secara resmi bekas teritori Utsmaniyah di
Bosnia dan Herzegovina, yang telah diduduki sejak 1878. Peristiwa ini membuat
Kerajaan Serbia dan pelindungnya,
Kekaisaran Rusia yang
Pan-Slavik dan
Ortodoks berang.
[23] Manuver politik Rusia di kawasan ini mendestabilisasi perjanjian damai yang sudah memecah belah apa yang disebut sebagai "
tong mesiu Eropa".
[23]
Tahun 1912 dan 1913,
Perang Balkan Pertama pecah antara
Liga Balkan dan Kesultanan Utsmaniyah yang sedang retak.
Perjanjian London
setelah itu mengurangi luas Kesultanan Utsmaniyah dan menciptakan
negara merdeka Albania, tetapi memperbesar teritori Bulgaria, Serbia,
Montenegro, dan Yunani. Ketika Bulgaria menyerbu Serbia dan Yunani pada
tanggal 16 Juni 1913, negara ini kehilangan sebagian besar Makedonia ke
Serbia dan Yunani dan
Dobruja Selatan ke Rumania dalam
Perang Balkan Kedua selama 33 hari, sehingga destabilisasi di wilayah ini semakin menjadi-jadi.
[24]
Peta etnolinguistik Austria-Hongaria, 1910
Pada tanggal 28 Juni 1914,
Gavrilo Princip, seorang pelajar
Serbia Bosnia dan anggota
Pemuda Bosnia, membunuh pewaris tahta Austria-Hongaria,
Adipati Agung Franz Ferdinand dari Austria di
Sarajevo, Bosnia.
[25]
Peristiwa ini memulai satu bulan manuver diplomatik di antara
Austria-Hongaria, Jerman, Rusia, Perancis, dan Britania, yang disebut
Krisis Juli.
Ingin mengakhiri intervensi Serbia di Bosnia, Austria-Hongaria
mengirimkan Ultimatum Juli ke Serbia, yaitu sepuluh permintaan yang
sengaja dibuat tidak masuk akal dengan tujuan memulai perang dengan
Serbia.
[26] Ketika Serbia hanya menyetujui delapan dari sepuluh permintaan, Austria-Hongaria menyatakan perang pada tanggal 28 Juli 1914.
Strachan
berpendapat, "Tanggapan ragu dan awal oleh Serbia yang mampu membuat
perubahan terhadap perilaku Austria-Hongaria bisa diragukan. Franz
Ferdinand bukan sosok yang gila popularitas, dan kematiannya tidak
membuat kekaisaran ini berduka sedalam-dalamnya".
[27]
Kekaisaran Rusia, tidak ingin Austria-Hongaria menghapus pengaruhnya
di Balkan dan mendukung protégé lamanya Serbia, memerintahkan mobilisasi
parsial sehari kemudian.
[19]
Kekaisaran Jerman melakukan mobilisasi tanggal 30 Juli 1914, siap
menerapkan "Rencana Shlieffen" berupa invasi ke Perancis secara cepat
dan massal untuk mengalahkan Angkatan Darat Perancis, kemudian pindah ke
timur untuk melawan Rusia. Kabinet Perancis bergeming terhadap tekanan
militer mengenai mobilisasi cepat, dan memerintahkan tentaranya mundur
10 km dari perbatasan untuk menghindari insiden apapun. Perancis baru
melakukan mobilisasi pada malam tanggal 2 Agustus, ketika Jerman
menyerbu Belgia dan menyerang tentara Perancis. Jerman menyatakan perang
terhadap Rusia pada hari itu juga.
[28]
Britania Raya menyatakan perang terhadap Jerman tanggal 4 Agustus 1914,
setelah "balasan tidak memuaskan" terhadap ultimatum Britania bahwa
Belgia harus dibiarkan
netral.
[29]
Teater konflik
Serangan pembuka
Kebingungan Blok Sentral
Strategi Blok Sentral mengalami miskomunikasi. Jerman telah berjanji
mendukung invasi Austria-Hongaria ke Serbia, namun penafsiran maksudnya
berbeda. Rencana penempatan pasukan yang sebelumnya diuji telah diganti
pada awal 1914, namun penggantian tersebut tidak pernah diuji dalam
latihan. Para pemimpin Austria-Hongaria yakin Jerman akan melindungi
perbatasan utaranya dari serbuan Rusia.
[30]
Meski begitu, Jerman mengharapkan Austria-Hongaria mengarahkan sebagian
besar tentaranya ke Rusia, sementara Jerman menangani Perancis.
Kebingungan ini mendorong
Angkatan Darat Austria-Hongaria membagi pasukannya antara front Rusia dan Serbia.
Pada tanggal 9 September 1914,
Septemberprogramm,
sebuah rencana memungkinkan yang menyebutkan tujuan perang tertentu
Jerman dan persyaratan yang dipaksakan Jerman terhadap Blok Sekutu,
dibuat oleh
Kanselir Jerman Theobald von Bethmann-Hollweg. Rencana ini tidak pernah dilaksanakan secara resmi.
Kampanye Afrika
Lettow menyerahkan pasukannya ke Britania di Abercorn
Sejumlah pertempuran pertama dalam perang melibatkan kekuatan
kolonial Britania, Perancis, dan Jerman di Afrika. Tanggal 7 Agustus,
tentara Perancis dan Britania menyerbu protektorat
Togoland Jerman. Tanggal 10 Agustus, pasukan Jerman di
Afrika Barat Daya menyerang Afrika Selatan; pertempuran sporadis dan sengit berlanjut sampai akhir perang. Pasukan kolonial Jerman di
Afrika Timur Jerman, dipimpin Kolonel
Paul Emil von Lettow-Vorbeck, melakukan kampanye
peperangan gerilya selama Perang Dunia I dan baru menyerah dua minggu setelah gencatan senjata diberlakukan di Eropa.
[31]
Kampanye Serbia
Austria menyerbu dan memerangi pasukan Serbia pada
Pertempuran Cer dan
Pertempuran Kolubara
yang dimulai tanggal 12 Agustus. Sampai dua minggu berikutnya, serangan
Austria dipatahkan dengan kerugian besar, yang menandakan kemenangan
besar pertama Sekutu dalam perang ini dan memupuskan harapan
Austria-Hongaria akan kemenangan mulus. Akibatnya, Austria harus
menempatkan pasukan yang memadai di front Serbia, sehingga melemahkan
upayanya membuka perang dengan Rusia.
[32] Kekalahan Serbia dalam invasi Austria-Hongaria tahun 1914 tergolong sebagai kemenangan terbalik besar dalam abad terakhir.
[33]
Pasukan Jerman di Belgia dan Perancis
Tentara Jerman di gerbong kereta menuju garis depan pada tahun 1914.
Pesan di gerbong bertuliskan "Perjalanan ke Paris"; pada awal perang,
semua sisi berharap konflik ini cepat selesai.
Pada awal pecahnya Perang Dunia Pertama, angkatan darat Jerman (di sebelah barat terdiri dari
tujuh pasukan lapangan) melaksanakan versi modifikasi
Rencana Schlieffen,
yang dirancang untuk menyerang Perancis secara cepat melalui Belgia
yang netral sebelum berbelok ke selatan untuk mengepung pasukan Perancis
di perbatasan Jerman.
[10].
Karena Perancis telah menyatakan bahwa mereka akan "bertindak
sebebasnya andai terjadi perang antara Jerman dan Rusia", Jerman
memperkirakan kemungkinan serangan di dua front. Jika terjadi hal
seperti itu, Rencana Schlieffen menyatakan bahwa Jerman harus mencoba
mengalahkan Perancis secara cepat (seperti yang terjadi pada
Perang Perancis-Prusia
1870-71). Rencana ini menyarankan bahwa untuk mengulangi kemenangan
cepat di barat, Jerman tidak usah menyerang melalui Alsace-Lorraine
(yang memiliki perbatasan langsung di sebelah barat sungai Rhine),
tetapi mencoba memutuskan Paris secara cepat dari Selat Inggris
(terputus dengan Britania Raya). Kemudian pasukan Jerman dipindahkan ke
timur untuk menyerbu Rusia. Rusia diyakini membutuhkan persiapan lama
sebelum bisa menjadi ancaman besar bagi Blok Sentral.
Jerman ingin bergerak bebas melintasi Belgia (dan Belanda juga, meski ditolak Kaiser
Wilhelm II)
untuk bertemu Perancis di perbatasannya. Jawaban dari Belgia netral
tentu saja "tidak". Jerman kemudian merasa perlu menyerbu Belgia, karena
inilah rencana satu-satunya yang ada andai terjadi perang dua front di
Jerman. Perancis juga ingin menggerakkan tentara mereka melintasi
Belgia, tetapi Belgia menolak untuk menghindari pecahnya perang apapun
di tanah Belgia. Pada akhirnya, setelah serbuan Jerman, Belgia mencoba
menggabungkan pasukan mereka dengan Perancis (namun sebagian besar
pasukan Belgia mundur ke
Antwerpen tempat mereka dipaksa menyerah ketika semua harapan bantuan pupus).
Rencana ini meminta agar sisi kanan Jerman bergerak ke Paris, dan awalnya Jerman berhasil, terutama pada
Pertempuran Frontiers (14–24 Agustus). Pada 12 September, Perancis, dengan bantuan dari
pasukan Britania, menghambat pergerakan Jerman ke timur Paris pada
Pertempuran Marne Pertama (5–12 September) dan mendorong pasukan Jerman 50 km ke belakang. Hari-hari terakhir pertempuran ini menandakan akhir dari
peperangan bergerak di barat.
[10] Serangan Perancis ke Alsace Selatan, dimulai tanggal 20 Agustus dengan
Pertempuran Mulhouse, mengalami sedikit kesuksesan.
Di sebelah timur, hanya satu pasukan lapangan, yaitu pasukan ke-8,
yang bergerak cepat melalui kereta api melintasi Kekaisaran Jerman.
Pasukan yang dulunya cadangan di barat ini dipimpin oleh Jenderal
Paul von Hindenburg untuk mempertahankan
Prusia Timur,
setelah berhasil melakukan serbuan awal ke Rusia dengan dua unit
pasukan. Jerman mengalahkan Rusia dalam serangkaian pertempuran yang
secara kolektif disebut
Pertempuran Tannenberg
Pertama (17 Agustus – 2 September). Akan tetapi, invasi Rusia yang
gagal lebih disebabkan oleh berhentinya serangan Jerman di barat dan
kekalahan taktis oleh Angkatan Darat Perancis di
Marne. Pasukan Jerman semakin lelah dan pasukan cadangannya dipindahkan untuk menangani invasi ke Rusia.
Staf Jenderal Jerman di bawah Jenderal
Helmuth von Moltke yang Muda
juga telah memperhitungkan bahwa pemanfaatan transportasi tentara cepat
melalui kereta api tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan di luar
Kekaisaran Jerman. Blok Sentral gagal mendapatkan kemenangan cepat di
Perancis dan terpaksa berperang di dua front. Pasukan Jerman mengambil
posisi defensif yang baik di dalam Perancis dan berhasil melumpuhkan
mobilisasi 230.000 tentara Perancis dan Britania secara permanen. Meski
begitu, masalah komunikasi dan keputusan komando yang bisa dipertanyakan
menggagalkan impian kemenangan awal Jerman.
[34]
Asia dan Pasifik
Pria di
Melbourne mengambil brosur perekrutan, 1914.
Selandia Baru
menduduki Samoa Jerman (kemudian Samoa Barat) pada tanggal 30 Agustus 1914. Tanggal 11 September,
Pasukan Ekspedisi Laut dan Militer Australia mendarat di pulau
Neu Pommern (kemudian Britania Baru), yang merupakan wilayah
Nugini Jerman. Tanggal 28 Oktober, kapal jelajah
SMS Emden menenggelamkan
kapal jelajah Jerman Zhemchug pada
Pertempuran Penang. Jepang merebt koloni Mikronesia Jerman dan, setelah
Pengepungan Tsingtao, pelabuhan batu bara Jerman di
Qingdao di semenanjung
Shandong,
Cina. Dalam beberapa bulan, pasukan Sekutu telah merebut semua teritori
Jerman di Pasifik; hanya pos dagang terisolasi dan sedikit wilayah di
Nugini yang bertahan.
[35][36]
Front Barat
Awal peperangan parit (1914–1915)
Taktik militer sebelum Perang Dunia I gagal menyamai kemajuan
teknologi. Kemajuan ini memungkinkan terciptanya sistem pertahanan
canggih yang tidak mampu disamai taktik militer lama sepanjang perang.
Kawat berduri merupakan penghalang efektif terhadap pergerakan infanteri massal.
Artileri, jauh lebih mematikan daripada tahun 1870-an, ditambah
senjata mesin, menjadikan pergerakan di daratan terbuka sangat sulit dilakukan.
[37] Jerman memperkenalkan
gas beracun;
teknik ini kelak dipakai oleh kedua pihak, meski tidak pernah terbukti
menentukan dalam memenangkan suatu pertempuran. Dampaknya sangat sadis,
menyebabkan kematian yang lama dan menyakitkan, dan gas beracun menjadi
salah satu hal terburuk yang paling ditakuti dan diingat dalam perang
ini.
[38]
Komandan di kedua sisi gagal mengembangkan taktik mematahkan posisi
parit dengan tanpa kerugian besar. Sementara itu, teknologi mulai
menciptakan senjata-senjata ofensif baru, seperti
tank.
[39]
Setelah
Pertempuran Marne Pertama (5–12 September 1914), baik pasukan
Entente dan Jerman mengawali serangkaian manuver mengepung dalam peristiwa yang disebut "
Perlombaan ke Laut". Britania dan Perancis kelak menyadari bahwa mereka menghadapi pasukan parit Jerman dari
Lorraine sampai pesisir Belgia.
[10]
Britania dan Perancis berupaya melakukan serangan, sementara Jerman
mempertahankan teritori yang diduduki. Akibatnya, parit-parit Jerman
lebih kokoh ketimbang milik musuhnya, parit Inggris-Perancis hanya
bersifat "sementara" sebelum pasukan mereka mematahkan pertahanan
Jerman.
[40]
Kedua sisi mencoba memecah kebuntuan menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tanggal 22 April 1915 pada
Pertempuran Ypres Kedua, Jerman (melanggar
Konvensi Den Haag) memakai gas
klorin
untuk pertama kalinya di Front Barat. Tentara Aljazair mundur ketika
digas sehingga terbentuk celah sepanjang enam kilometer (empat mil)
terbuka di lini Sekutu yang segera dimanfaatkan Jerman, mengadakan
Pertempuran Kitchener's Wood, sebelum ditutup oleh
tentara Kanada.
[41] Tank pertama dipakai dalam pertempuran oleh Britania pada
Pertempuran Flers-Courcelette
(bagian dari serangan Somme yang lebih besar) pada tanggal 15 September
1916 dengan sedikit keberhasilan; Perancis memperkenalkan meriam putar
Renault FT pada akhir 1917; Jerman memanfaatkan tank-tank Sekutu yang ditangkap dan sejumlah kecil tank mereka sendiri.
Kelanjutan peperangan parit (1916–1917)
Kedua sisi tidak mampu memberi pukulan menentukan selama dua tahun
berikutnya. Sekitar 1,1 sampai 1,2 juta tentara pasukan Britania dan
jajahannya berada di Front Barat pada satu waktu.
[42] Seribu batalion, menempati sektor lini dari
Laut Utara sampai
Sungai Orne,
melakukan sistem rotasi empat tahap selama satu bulan, kecuali sebuah
serangan sedang terjadi. Front ini memiliki parit sepanjang
9.600 kilometer (5,965 mil). Setiap batalion menduduki sektornya selama
seminggu sebelum kembali ke lini pendukung dan terus ke lini cadangan
sebelum seminggu di luar lini, biasanya di wilayah
Poperinge atau
Amiens.
Seorang tentara Perancis menyerang posisi Jerman, Champagne, Perancis, 1917.
Sepanjang 1915–17, Imperium Britania dan Perancis mengalami lebih
banyak korban daripada Jerman, karena sikap strategi dan taktik yang
dipilih oleh sisinya. Secara strategis, saat Jerman hanya melakukan satu
serangan tunggal di
Verdun, Sekutu melakukan banyak upaya untuk mematahkan lini Jerman.
Pada tanggal 1 Juli 1916,
Angkatan Darat Britania Raya mengalami hari paling mematikan dalam sejarahnya, dengan korban 57.470 jiwa, termasuk 19.240 gugur, pada
hari pertama Pertempuran Somme.
Kebanyakan korban jatuh pada satu jam pertama serangan. Seluruh
serangan Somme melibatkan setengah juta prajurit Angkatan Darat
Britania.
[43]
Serangan Jerman yang terus-menerus di
Verdun sepanjang 1916,
[44] ditambah
Somme
(Juli dan Agustus 1916), membawa pasukan Perancis yang lelah di ambang
perpecahan. Upaya sia-sia dalam serangan frontal memakan banyak korban
bagi Britania dan
poilu Perancis dan mendorong terjadinya
mutini besar-besaran tahun 1917, setelah
Serangan Nivelle (April dan Mei 1917) yang gagal.
[45]
Secara taktis, doktrin komandan Jerman
Erich Ludendorff berupa "
pertahanan elastis"
cocok dipakai untuk peperangan parit. Pertahanan ini terdiri dari
posisi depan yang minim pertahanan dan posisi utama jauh di belakang
jangkauan artileri yang lebih kuat, yang dari situlah serangan balasan
cepat dan kuat bisa dilancarkan.
[46][47]
Ludendorff menulis tentang pertempuran tahun 1917,
25 Agustus mengakhiri fase kedua pertempuran
Flandria. Peristiwa ini memakan banyak korban dari pihak kami ...
Pertempuran Agustus mematikan di Flandria dan Verdun membawa tekanan
berat bagi tentara Barat. Meski di bawah perlindungan beton, semua
tampak kurang kuat menghadapi artileri musuh yang luar biasa. Pada
beberapa saat, mereka tidak lagi memiliki ketegasan yang saya, bersama
para komandan setempat, harapkan. Musuh berupaya mengadaptasikan diri
mereka dengan metode kakmi dalam melakukan serangan balasan ... Saya
sendiri mengalami tekanan luar biasa. Suasana di Barat tampak mencegah
dilakukannya rencana-rencana kami di manapun. Jumlah korban begitu
banyak sehingga kami tidak sempat menguburkan mereka secara layak, dan
melebihi semua harapan kami.
[48]
Pada pertempuran Menin Road Ridge, Ludendorff menulis,
Serangan besar lain dilancarkan terhadap lini kami
pada tanggal 20 September ... Serangan musuh terhadap pasukan ke-20
berhasil, yang membuktikan superioritas serangan terhadap pertahanan.
Kekuatan mereka tidak melibatkan tank; kami melihat mereka begitu tidak
nyaman, tetapi terus mengerahkan semuanya. Kekuatan serangan terletak di
artileri, dan faktanya artileri kami tidak mampu memberi dampak yang
cukup untuk memecah infanteri saat mereka terus bersatu pada saat itu
juga.
[49]
Pada
Pertempuran Arras 1917, satu-satunya keberhasilan besar militer Britania adalah penaklukan
Vimy Ridge oleh
Korps Kanada di bawah pimpinan
Sir Arthur Currie dan
Julian Byng.
Tentara yang menyerang, untuk pertama kalinya, mampu mengalahkan,
bersatu dengan cepat, dan mempertahankan pegunungan yang membatasi
dataran
Douai yang kaya akan kandungan batu bara.
[50][51]
Perang laut
Pada awal perang, Kekaisaran Jerman memiliki
kapal jelajah yang tersebar di seluruh dunia, beberapa di antaranya dipakai untuk menyerang
kapal dagang Sekutu.
Angkatan Laut Kerajaan
Britania Raya secara sistematis memburu mereka, meski menanggun malu
akibat ketidakmampuannya melindungi kapal Sekutu. Misalnya, kapal
jelajah ringan Jerman
SMS Emden,
bagian dari skadron Asia Timur yang berpusat di Tsingtao, menangkap
atau menghancurkan 15 kapal dagang, serta menenggelamkan sebuah kapal
jelajah Rusia dan kapal penghancur Perancis. Namun sebagian besar
Skadron Asia Timur Jerman—terdiri dari kapal jelajah lapis baja
Scharnhorst dan
Gneisenau, kapal jelajah ringan
Nürnberg dan
Leipzig
dan dua kapal angkut—tidak diberi perintah mencegat jalur perkapalan
dan malah diperintahkan kembali ke Jerman ketika bertemu kapal perang
Britania. Armada Jerman dan
Dresden menenggelamkan dua kapal jelajah lapis baja pada
Pertempuran Coronel, namun hampir hancur pada
Pertempuran Kepulauan Falkland bulan Desember 1914, dengan
Dresden dan beberapa kapal pembantu berhasil kabur, tetapi pada
Pertempuran Más a Tierra kapal-kapal tadi akhirnya hancur atau ditangkap.
[52]
Sesaat setelah pecahnya pertempuran, Britania memulai
blokade laut Jerman.
Strategi ini terbukti efektif, memutuskan suplai militer dan sipil,
meski blokade ini melanggar hukum internasional yang diatur oleh
beberapa perjanjian internasional selama dua abad terakhir.
[53]
Britania membuang ranjau di perairan internasional untuk mencegah kapal
apapun memasuki seluruh wilayah samudra, sehingga membahayakan kapal
yang netral sekalipun.
[54]
Karena ada sedikit tanggapan terhadap taktik ni, Jerman mengharapkan
taktik yang sama terhadap peperangan kapal selamnya yang tidak
terhambat.
[55]
Pertempuran Jutland (Jerman:
Skagerrakschlacht,
atau "Pertempuran Skagerrak") 1916 berubah menjadi pertempuran laut
terbesar dalam perang ini, satu-satunya pertempuran kapal perang
berskala besar dalam Perang Dunia I, dan salah satu yang terbesar dalam
sejarah. Pertempuran ini terjadi pada tanggal 31 Mei – 1 Juni 1916 di
Laut Utara lepas pantai
Jutland. Armada Laut Lepas Kaiserliche Marine, dipimpin Wakil Laksamana
Reinhard Scheer, berperang melawan
Armada Besar Angkatan Laut Kerajaan, dipimpin Laksamana Sir
John Jellicoe.
Pertempuran ini buntu, karena Jerman, yang kalah jumlah dengan armada
Britania, berhasil kabur dan mengakibatkan kerusakan lebih banyak bagi
armada Britania daripada yang mereka terima. Secara strategis, Britania
menguasai lautan, dan sebagian besar armada permukaan Jerman masih
tertahan di pelabuhan selama perang berlangsung.
[56]
Kapal-U Jerman berusaha memotong jalur suplai antara Amerika Utara dan Britania.
[57]
Sifat peperangan kapal selam berarti bawha serangan bisa datang tanpa
peringatan, sehingga memberi kemungkinan selamat yang kecil bagi awak
kapal dagang.
[57][58] Amerika Serikat mengeluarkan protes, dan Jerman mengganti aturan pertempuran. Setelah penenggelaman kapal penumpang
RMS Lusitania
tahun 1915, Jerman berjanji tidak lagi menyerang kapal penumpang,
sementara Britania mempersenjatai kapal-kapal dagangnya dan menempatkan
mereka di luar perlindungan "aturan kapal jelajah" yang meminta
peringatan dan penempatan awak di "tempat aman" (standar yang tidak
dimiliki sekoci).
[59] Akhirnya, pada awal 1917, Jerman menerapkan kebijakan
peperangan kapal selam tak terbatas, menyadari bahwa Amerika Serikat akan ikut berperang.
[57][60]
Jerman berupaya menghambat jalur laut Sekutu sebelum Amerika Serikat
dapat memindahkan pasukan dalam jumlah besar ke luar negeri, tetapi
hanya mampu mengerahkan lima kapal-U jarak jauh dengan dampak yang
sedikit.
[57]
U-155 dipamerkan dekat Tower Bridge di London setelah Perang Dunia Pertama.
Ancaman kapal-U berkurang pada tahun 1917, ketika kapal-kapal dagang mulai berlayar dalam bentuk
konvoi dan dikawal
kapal penghancur. Taktik ini terbukti sulit bagi kapal-U untuk mencari target, sehingga mengurangi kerugian; setelah
hidrofon dan
ranjau bawah air
diperkenalkan, kapal penghancur pengawal bisa menyerang kapal selam
dengan kemungkinan berhasil. Konvoi memperlambat aliran suplai, karena
kapal harus menunggu saat konvoi dibentuk. Solusi terhadap penundaan ini
adalah program pembangunan kapal angkut baru secara besar-besaran.
Kapal tentara terlalu cepat untuk dikejar kapal selam dan tidak berlayar
di Atlantik Utara dalam konvoi.
[61] Kapal-U telah menenggelamkan lebih dari 5.000 kapal Sekutu dengan kerugian sebanyak 199 kapal selam.
[62]
Perang Dunia I juga menjadi peristiwa ketika
kapal angkut pesawat pertama kali dipakai dalam pertempuran, dengan
HMS Furious meluncurkan pesawat
Sopwith Camels dalam serangan sukses terhadap hangar
Zeppelin di
Tondern pada bulan Juli 1918, serta
blimp untuk patroli antikapal selam.
[63]
Sumber : wikipedia bahasa indonesia